KRITIK
SENI
1.
A. Kritik Seni
Kritik seni sebagai ilmu pengetahuan
terdiri atas kumpulan teori sebagai hasil pengkajian yang teliti
oleh pakar estetika dan pakar teori seni. Pada dasarnya pengetahuan ini
dikembangkan dari kenyataan di lapangan. Teori kritik seni mencangkup segala
sesuatu yang berhubungan dengan persyaratan dan metodologi yang deperlukan
dalam kegiatan mengapresiasi dan menilai karya seni. Pada prinsipnya ada dua
pendekatan yang dilakukan untuk membangun teori kritik seni.
1) Berakar
pada pendekatan filsafat metafisis yang melahirkan tipe kritik yang bersifat
dogmatis.
2)
Pendekatan empiric modern yang mengpergunakan data objektif sebagai bassis
penilaian karya seni.
(Osborne,
1995)
Eksistensi kritik seni masih menjadi
ajang perdebatan
(Dewey,
1980; Stolnizt, 1971)
Bahwa kritik seharusnya merupakan
aktivitas evaluasi, karya seni adalah objek pengamatan estetik, kritik tidak
perlu sampai pada penyimpulan nilai, penghakiman karena dengan deskripsi dan
pembahasan yang lengkap sudah mencukupi bagi penangkapan makna estetis
(Aschner,dkk.
dalam Bangun, 2001:3)
Kritik sebagai kajian rinci dan
apresiatif dengan analisis yang logis dan argumentatif untuk menafsirkan karya
seni. Aktivitas evaluasi kritik seni harus sampai pada pernyataan nilai baik
dan buruk bahkan sampai penentuan kedudukan karya seni dalam konteks karya yang
sejenis.
(Kuspit,
1994)
Aktivitas kritik merupakan seni
tersendiri, artinya seorang kritikus adalah individu kreatif yang mengungkap
makna seni.
Kesimpulan yang dapat diambil dari
pendapat para pakar adalah bahwa kritik seni adalah aktivitas pengkajian yang
serius terhadap karya seni.
Tujuan kritik seni adalah evaluasi seni,
apresiasi seni, dan pengembangan seni ke taraf yang lebih kreatif dan inovatif.
Bagi masyarakat kritik seni berfungsi untuk memperluas wawasan seni. Bagi
seniman kritik tampil sebagai ‘cambuk’ kreativitas. Suatu ketika kritik seni
berperan memperkenalkan karakteristik seni baru. Kebangkitan seni modern,
misalnya, sukar dipisahkan dari aktivitas kritik.
Dalam kritik seni sesungguhnya tedapat
tiga asumsi terpenting, yakni:
1) Kritik
sebagai aktivitas apresiasi seni
2)
Kritik sebagai aktivitas penghakiman
3) Kritik
sebagai aktivitas seni tersendiri
Dalam eksistensi kritik seni seperti yang
diuraikan di atas, tampak peran kritik sangat vital menentukan perkembangan
seni ditengah masyarakat, baik untuk seni tari, seni music, seni sastra, seni
teater dan film, maupun untuk seni rupa.
1.
1. Alat Kritik
Seni
Tingkat kepakaran seorang kritikus
menurut keahlian dan persyaratan tersendiri, sehingga bobot penilaian yang
dilakukannya cukup meyakinkan bagi para pembaca.
Bekal atau perlengkapan yang harus
dimiliki kritikus seni sehingga penilaiannya berbeda dengan orang kebanyakan,
sebagai berikut:
1) Seorang
kritikus harus mempunyai cita rasa seni yang terbuka, artinya mempunyai
kapasitas mengahargai kreativitas artistic yang sangat beragam.
Mengapresiasikan dengan baik karaya seni yang eksis di berbagai tpat dan zaman.
2) Seorang
kritikus memerlukan studi formal di lembaga tinggi kesenian, khususnya tentang
sejarah kesenian dan sejarah kebudayaan.
3) Seorang
kritikus harus berpengalaman mengamati dan menghayati seni secara orisinal,
baik di studio, gedung pertunjukan, sanggar, maupun di museum. Pengalaman
otentik ini diperlukan, sebab sukar dan mustahil mendapat pengalaman otentik
dari slide, buku atau reproduksi karya seni belaka.
4) Seorang
kritikus harus mampu secara imajinatif merekapitulasi faktor teknik karya seni,
sehingga mengetahui bagaimana proses pembuatan karya yang menjadi objek
kritiknya.
5) Seorang
kritikus perlu mengetahui benar peristilahan seni, style seni, fungsi seni,
opini penting para seniman dan pakar estetika secara periodic, disamping
memahami konteks sosial dan kebudayaan yang melatar belakangi kreasi seorang
seniman.
6) Seorang
kritikus harus paham betul pebedaan antara niat artistic dengan hasil atau
penyampaian artistic, sehingga dia mampu meluhat senjangan antar keduanya.
Niat, amanat, pernyataan, atau nilai yang ingin dekspresikan seniman tidak
selalu persis terungkap dalam hasil kreasi seninya.
7) Seorang
kritikus harus mampu melawan bias atau simpati terhadap karya seniman tersebut
yang dikenalnya secara pribadi. Sebaliknya, mampu pula secara ojektif dan penuh
kearifan mengakuo keunggulan seorang seniman, meskipun seniman tersebut berbeda
pendapat. Dengan kata lain perbedaan pendapat tidak mempengaruhi penilaian
objektif seorang kritikus.
8)
Seorang kritikus harus harus memiliki kesadaran kritis. Hal ini berkaitan
dengan karya seni yang berbeda itu. Sikap netral dan demokratis adalah basis
kearifan penilaina seni.
9) Seorang
kritikus seni profesional harus memiliki temperamen judisial, dalam praktiknya
ini berarti kemampuan menilai seni dengan cara yang tidak tergesa-gesa.
Aktivitas menilai seni memerlukan bukti dan kesaksian akurat. Diperlukan waktu
untuk mencerap berbagai kesan, asosiasi, sensasi, yang diberikan karya seni.
Hal ini diperlukan agar kritikus dapat secara hati-hati dan cermat menganalisis
dan manafsirkan nilai kerya seni dengan bujaksana dan cerdas.
1.
2. Tipe Kritik
Seni
Pada hakikatnya tipe kritik seni adalah
suatu landasan kerja, prodedur, atau metode penilaina karya seni dilihat dari
sudut pandang tertentu. Penggolongan tipe kritik seni ada kalanya didasarkan
pada kriteria yang dipakai, di saat yang lain bedasaekan doktrin seni, dan
adakalanya dari siapa yang menulisnya.
(Hosper,
1992: 44) Berdasarkan penggolongan tersebut
dikenal istilah isolasionisme dan kontekstualisme.
(Herarti,
1984: 105-106) Breadsley dan Kemp memperkenalkan
tipe kritik intensionalis. Golman membagi tipe kritik menjadi formalis dan
kontekstual.
(Sudarmaji,
1979: 33-34) Gastel membagi tipe kritik menjadi
tiga, yakni kritik klasik, kritik romantic, dan kritik impresionisme.
(Pepper,
1970) Membagi tipe kritik menjadi empat,
yakni kritik mekanistik, kritik kontekstualis, kritik organic, dan kritik
formisme.
(Feldman,
1967: 451-452) Memperkenalkan kritik jurnalistik,
kritik pedagogic, kritik scholary, dan kritik popular.
(Stonizt,
1986: 7-10) Tipe kritik normative (by rules)
kritik kontekstual, kritik impresionis, kritik intensionalis, dan kritik
intrinsic.
(Wellek,
1964: 345-346) Membagi kecenderungan kritik seni
abad ke-20 menjadi enam, yaitu kritik Marxis, kritik Psikoanalitik, kritik
linguistic-stilistik, kritik neo organistik, kritik formalis, dan kritik
formalis eksistensialis.
(Wilson,
1971:33-42) Menurut Weitz, struktur kriteria
atau standarkritik seni mengacu pada teori seni yang terpenting dan berpengaruh
dalam dunia seni, yakni konsep imitasionalisme, eksprtesionisme, emosionalisme,
formalism, dan organisisme.
(Barret,
1994: 102-105) Pakar lain membedakan kriteria
penilaian seni menjadi enam, yaitu realisme, ekspresionisme, formalism,
instrumentalisme, originalitu dan craftsmanship.
Pada dasarnya kritik seni memiliki
banyak persamaan antara satu dengan yang lainnya. Misalnya, tipe kritik
formalism, intrinsic, dan isolasionisme sebenarnya mempunyai maksud dan tujuan
yang sama, meski istilahnyaberbeda. Demikian pula dengan kritik impresinistik
dan mekanistik. Akan tetapi, bisa dipahami betapa besar usaha yang telah
dilakukan untuk menemukan metode penilaian yang lebih tepat, lebih rasional,
dan lebih bisa dipertanggungjawabkan.
Pada kesempatan ini, tidak semua tipe
kritik tersebut dibahas, tetapi akan dikemukakan tipe kritik versi Feldman yang
meliputi:
1.
a. Kritik
Jurnalistik
Tipe kritik ini ditulis untuk para
pembaca surat kabar dan majalah. Tujuannya memberikan informasi tentang
berbagai peristiwa dalam dunia kesenian. Isi dari kritik Jurnalistik berupa
ulasan ringkasan dan jelas mengenai suatu pameran, pementasan, konser, atau
jenis pertunjukan seni lain di tengah mesyarakat. Karakteristik utama kritik
Jurnalistik adalah aspek pemberitahuan.
Kewajiban
seorang kritikus jurnalistik adalah memuaskan rasa ingin tahu para pembaca yang
beragam, di samping untuk menyampaikan fenomena keindahanyang menggugah rasa
keindahan. Pada umumnya kritikus menghindari penulisan yang panjang, agar tidak
menyita kolom pemberitaan secaraberlebihan. Majalah Time dan Tempo di
Indonesia merupakan contoh media yang menerapkan tipe kritik jurnalistik dalam
rubric kesenian mereka.
Berbeda
dengan Jurnal Bulanan Seni (Eropa, Amerika, Australia) yang menyajikan kritik
jurnalistik dengan konsep lain. Jurnal ini berisi kritik tajam kepada museum
dan lembaga sosial yang gagal memberik dukungan kepada seniman favorit mereka.
Pada umumnya kritik tersebut menyulut timbulnya persaingan dalam kehidupan seni
kontemporer. Kritikus seni, seperti Hilton Kramer dan Frank Getlein, dengan
mewawancarai pendukungAction Painting seperti Harols
Rosenberg dan Thomas Hess menciptakan forum bebas pendapat tahun 1950-an. Pada
saat perdebatan kritik nyaris tidak ada.
Karena seringnya kritik tipe ini ditulis
dan waktu penulisan yang terbatas, maka informasi yang disampaikan memiliki
resiko tidak akurat. Penarikan kesimpulan yang cepat dan analisis yang dangkal
menyebabkan kritikus cenderung menyimpulkan interpretasi seninya, tanpa
analisis dan pembuktian yang valid. Bagi seseorang yang cermat mengamati
tipe kritik jurnalistik, akan menyadari pengetahuan atau pemahaman
kritikus hanya berisi sekumpulan opini tentang reputasi seni kontemporer yang
sedang berkembang.
1.
b. Kritik Pedagogik
Kritik seni pedagogic diterapkan dalam
kegiatan proses belajar mengajar di lembaga pendidikan kesenian. Jenis kritik
ini dikembangkan oleh para dosen dan guru kesenian, tujuannya terutama
mengembangkan bakat dan potensi artistic-estetik peserta didik, agar memiliki
kemampuan mengenali bakat dan potensinya.
Para pendidik seharusnya memahami
standar nilai dunia seni professional dan mampu berperan sebagai seorang
kritikus, meskipun standar dunia seni profesional tersebut tidak digunakan
sebagai kriteria untuk menilai karya peserta didiknya. Satu hal yang sulit bagi
seorang pendidik seni ialah keterlibatan kapasitas kritisnya dalam proses
pengajaran. Dia harus sadar bahwa kegiatan menganalisis dan menafsirkan karya
mahasiswa-siswi adalah untuk kemajuan dan kepentingan peserta didik itu
sendiri. Kritikus pedagogik membimbing bagaimana proses menganalisis dan
menafsirkan nilai seni dan memahami karakter seni yang dibuatnya.
Sejak karya seni memiliki implikasi
sosial (seni dibuat untuk orang lain, untuk dimiliki, dipakai, atau dikagumi,
maupun untuk dinikmati sendiri) maka para pendidik seni wajib merespon secara
kritis peserta didiknya, mulai dari proses pembuatan karya seni sampai
menyelesaikannya. Pada system pendidikan tradisional, penentuan selesainya sebuah
karya ditentukan oleh dosen atau guru seni. Namun dalam system pendidikan
modern penentuan selesainya sebuah karya seni merupakan hasil kerja sama antara
dosen dengan mahasiswanya atau persetujuan antara guru seni dan muridnya.
1.
c. Kritik Ilmiah
Kritik
ilmiah atau kritik akademi adalah istilah yang digunakan di Indonesia sebagai
alih bahasa dari scholary criticism sebagaimana
disebutkan oleh Feldman. Kritik ilmiah biasanya melakukan pengkajian
nilai seni secara luas, mendalam, dan sistematis, baik dalam menganalisis
maupun dalam melakukan kaji banding kesejarahan critical judgment.
Penilaian kritik ilmiah sesungguhnya
tidak bersifat mutlak, sama seperti pengetahuan lmiah lainnya, jenis kritik ini
bersifat terbuka dan siap dikoreksi oleh siapa saja, demi penyempurnaan dan
mencari nilai karya seni yang sebenarnya. Kritik seni ilmiah sama sekali tidak
bermaksud mengilmiahkan seni, jenis kritik ini hanya meminjam sarana ilmiah
untuk melakukan penilaian seni yang lebih akurat. Misalnya, menggunakan prosedur
penelitian untuk mengumpulkan data yang lengkap, sebagai bukti konkret untuk
melakukan penilaian yang logis, sehingga kesimpulan kritik yang dihasilkan
dapat mengungkap makna seni berdasarkan bukti-bukti yang dikemukakan.
1.
d. Kritik Popular
Pada dasarnya implikasi kritik seni
popular ditulis oleh sebagian besar penulis yang tidak menuntut keahlian
kritis. Masyarakat akan terus membuat penilaian kritis, tanpa mempertimbangkan
apakah penilaian yang mereka lakukan tepat atau tidak. Cita rasa seni yang bernilai
adalah kesetiaan pada fakta realisme yang pembahasannya berhubungan dengan gaya
akurasi objektif.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa
seorang kritikus yang tidak mengenal metodologi penulisan kritik dengan
sendirinya menjadi penganut teori mimetik. Mereka memandang objek seni dari
objek rupanya. Hal ini berarti kritikus membentuk penilaiannya dengan
mempertautkan pengalaman sendiri dengan karya seni yang diamatinya. Jadi
criteria penilaian bergantung pada apa yang pernah dilihat, dialami, didengar
atau dibaca, lalu dikaitkan dengan berbagai cara pada objek seni yang
dikritiknya. Kelemahan cara seperti ini adalah berbaurnya persepsi masa lampau
dengan persepsi masa kini. Proses kerja demikian menunjukkan bahwa
kritikus tidak meneliti pengalamannya secara sistematis, artinya kritikus tidak
sungguh-sungguh mengamati karya seni yang menjadi objek kritiknya.
Jenis kritik ini berkembang diseluruh
dunia, termasuk Indonesia. Tipe kritik popular adalah suatu gejala umum dan
kebanyakan dihasilkan oleh para kritikus yang tidak ahli, terutama dilihat dari
aspek profesionalisme kritisme seni.
3.
Penyajian Kritik Seni
Penyajian kritik seni memiliki bentuk
dan cara yang sistematis. Kritikus yang baik secara sadar memahami bentuk,
proses, bahkan sistem yang digunakannya untuk mencapai kesimpulan kritiknya.
Menurut Feldman (1967:469) dalam teori kritik seni dikenal empat tahap
meliputi; deskripsi, analisis, interpretasi, dan evaluasi.
1.
a. Deskripsi
Deskripsi adalah suatu proses
pengumpulan data karya seni yang tersaji langsung kepada pengamat. Dalam
mendeskripsikan karya seni, kritikus dituntut menyajikan keterangan secara
objektif yang bersumber pada fakta yang terdapat dalam karya seni. Kritikus
sastra akan menguraikan karya sastra dan menguraikan proses pembuatan karya
tersebut.
Dalam karya seni rupa, kritikus akan
mengarahkan perhatiannya pada prinsip konfirmasi seperti warna, arah, bentuk,
penggunaan baris, tekstur, volume, dan ruang. Dalam seni musik, kritikus
mendata bagaimana penyajian sebuah konser, baik aransemen, vokal, dan instrumen
musik yang dipakai untuk menyajikan sebuah pagelaran. Dalam seni tari, kritikus
akan menguraikan bagaimana aspek penari, gerak, ekspresi, dan ilustrasi musik
yang mengiringinya. Demikian pula seorang kritikus teater dan film yang akan
menguraikan sinopsis, termasuk aspek tokoh, akting, dialog, dan penampilan
aktor/aktris utama dan pemeran pembantu dalam sebuah pementasan teater atau
pertunjukan film yang menjadi objek kritik.
Data ini diperlukan karena sifatnya bisa
mempengaruhi persepsi kritikus dalam hal pemahaman dan penilaian kritisnya
nanti. Dalam pembuatan deskripsi perlu dihindari interpretasi terhadap karya
seni, kesan pribadi kritikus ketika mengamati karya seni bukan termasuk bagian
dari deskripsi, jadi deskripsi berarti menguraikan fakta seni sesuai dengan
kenyataan yang sebenarnya, tanpa tafsiran yang sifatnya ilusif dan imajinatif.
Disamping mendeskripsikan adegan,
suasana, kritikus juga menerangkan pentas, tata cahaya, dan dekorasinya,
sekaligus mengutip puisi yang dibacakan. Dengan teknik mendeskripsi seperti
ini, tentu saja pembaca kritik mendapatkan informasi yang lengkap.
1.
b. Analisis
Pada tahap analisis, tugas kritikus
adalah menguraikan kualitas elemen seni. Dalam karya seni rupa, kualitas tersebut
terdapat pada garis, bentuk, warna, pencahayaan, penataan figur, lokasi, ruang,
dan volume. Jika seorang kritikus musik memberikan penilaian terhadap seorang
penyanyi, maka disamping ia menafsirkan nilai penampilan sang artis, dia juga
menganalisis segi tekniknya, misalnya vokal, jangkauan suara, akting,
kefasihan, dan kualitas bunyi yang diciptakan.
Ide
seorang kritikus sangat penting dalam menganalisis karya seni. Hasil karya
seni, selanjutnya akan menjadi fakta objektif bagi kritikus untuk menafsirkan
makna seni. Hal ini penting dalam upaya menilai seni secara kritis. Pada
dasarnya tahap analisis adalah mengkaji kualitas unsur pendukung subject matter yang telah dihimpun dalam data
deskripsi.
1.
c. Interpretasi
Interpretasi dalam kritik seni adalah
proses mengemukakan arti atau makna karya seni dari hasil deskripsi dan
analisis yang cermat. Kegiatan ini tidak bermaksud menemukan nilai verbal yang
setara dengan pengalaman yang diberikan karya seni. Juga bukan dimaksudkan
sebagai proses penilaian.
Aktifitas interpretasi merupakan sebuah
tantangan dan tentu saja merupakan bagian penting. Namun, dalam kegiatan ini
kritikus tidak berada dalam posisi menilai, tetapi memutuskan apa makna seni,
tema karya, masalah artistik, masalah intelektual karya seni, dan akhirnya
menyimpulkan karya seni sebagai satu kesatuan yang utuh.
Dalam menafsirkan karya seni, kritikus
bertolak dari data deskripsi dan analisis (yang telah dilakukan sebelumnya)
untuk menghasilkan sebuah hipotesis tentang karya seni yang bersangkutan. Perlu
asumsi yang melandasi dalam menginterpretasikan karya seni. Diasumsikan bahwa
seni mempunyai kejelasan atau implikasi isi ideologis (bukan dalam arti
politis). Diasumsikan pula bahwa objek seni adalah hasil karya manusia yang
tidak bisa lepas dari aspek sistem nilai penciptanya. Karya seni tidak dapat
dipisahkan dari wahana ide senimannya.
Seorang
kritikus tidak tertarik secara khusus pada persoalan apakah ide dalam karya
seni sesuai dengan pandangan senimannya (tidak ingin menerobos privacy seorang seniman) karena pandangan seorang
seniman belum pasti terjelma dalam produk seninya. Dengan kata lain, kritikus
tidak menggunakan seni untuk mendapatkan apa yang dipikirkan seniman, yang
diperlukan adalah bagaimana mengamati objek seni dengan seksama, sehingga
ditemukan ide yang sangat signifikan. Jadi, itulah fungsi seorang kritikus,
menemukan gagasan apa yang terdapat pada sebuah karya seni, dan selanjutnya
mengungkapkan apa maknanya.
Dari keterangan di atas, yang penting
untuk kritik seni, bahwa seniman bukan pemegang otoritas dalam memaknai hasil
karyanya. Para kritikus pada umumnya, sangat memperhatikan apa yang dikatakan
seniman, menyimak dengan baik segala ungkapan seniman, tetapi kritikus akan
menguji pernyataan tersebut pada karya seni yang dihasilkannya. Pernyataan
seniman ditempatkan sebagai material yang perlu dikonfirmasikan dengan metode
analisis dari interpretasi kritikus.
Bagi kritikus yang terbiasa mengamati
karya naturalis dengan tema yang jelas, menafsirkan seni abstrak atau seni
non-objektif mengalami kesulitan. Kesulitan ini diperkirakan menjadi alasan
kuat bagi kritikus untuk berlindung pada pernyataan seniman, biografi dan
pendapat rekan-rekannya untuk mengungkapkan misteri karyanya. Kemudian juga
pengaruh teori kreatifitas artistik yang menganggap seniman mengetahui apa yang
akan diekspresikan atau masalah apa yang akan dipecahkan.
Namun demikian, kritikus seharusnya
tidak mencampuradukkan antara niat atau tujuan artistik dengan pencapaian
artistik. Dengan kata lain, kebenaran sebuah pernyataan harus dapat diamati
pada karya seni, jika tidak, maka kritikus dapat melihat terjadinya kesenjangan
antara aspek konseptual dengan prestasi atau pencapaian artistik. Dalam
mengamati seni kontemporer, kritikus mudah terpengaruh oleh reputasi seniman
dan tulisan tentang karyanya. Namun dalam praktik penilaian kritis, hal
tersebut hanya digunakan sebagai pedoman dalam hal khusus jika
diperlukan, akan tetapi makna seni dalam arti sesungguhnya kritikus yang
menyimpulkannya.
Sesungguhnya kritik seni tidak berfungsi
sebagai pengganti pengalaman estetis, mengungkap makna seni bukanlah berarti
menemukan verbalisasi objek seni.
Dalam menafsirkan secara kritis karya
seni kontemporer, kritikus berurusan dengan kualitas formal dan sensual objek
seni. Kritikus menafsirkan dengan cermat dampak kualitas penghayatannya. Selama
proses pembuatan deskripsi dan analisi, kritikus membicarakan elemen seni dan
teknik pengorganisasiannya untuk mengarahkan perhatiannya langsung pada
keaktualan objek seni.
Salah satu masalah sentral dalam
estetika dan kritik seni adalah tidak ada jalan menghindari persepsi seni
organisisme manusia. Variasi persepsi itu sendiri adalah sumber kegembiraan dan
bagian dari kesenangan hidup. Kritikus dengan sadar dan penuh pertimbangan
berusaha memformulasikan suatu penjelasan spesifik dari data tersebut. Isi
deskripsi dan analisis dijadikan sebagai bukti dan kesaksian yang sangat
berguna. Keterangan tersebut dengan sendirinya mensugestikan diri mewakili
seni, meskipun tidak lengkap sebagai suatu karya seni yang utuh. Namun, dapat
dipilih satu atau lebih data deskripsi dan analisis sebagai landasan
pembentukan hipotesis, jika memang ada keterangan yang mengesankan.
Dalam kritik seni, tidak terlalu
mementingkan apa penyebab kreasi sebuah objek seni. Namun lebih mengutamakan
ide atau prinsip pengorganisasian yang memberikan efek tertentu pada kritikus.
Sebagai penyebab timbulnya praduga, bahwa objek seni yang sama akan
mempengaruhi individu secara berbeda.
Oleh
karena itu, efek seni dan pengalaman estetik berada inside the skin of an observer,maka kritik seni
mengembangkan suatu metode yang dapat memperkecil subjektifitas yang inherent dalam kritik seni. Dengan kata lain,
karena kita tidak berhasil menelaah efek yang diberikan seni in side kita, tampaknya cara terbaik ialah
menelaah pernyataan, observasi, dan persepsi yang telah dibuat seputar objek
seni, yang ada diluar pribadi kita. Meskipun efek tersebut timbul pada diri
kita, tetapi hal itu dapat diselidiki dengan teliti oleh tiap orang.
Untuk tujuan penafsiran dalam kritik
seni, hipotesis adalah suatu ide atau prinsip organisasi yang berhubungan erat
dengan materi deskripsi dan analisis.
1.
d. Evaluasi
Evaluasi karya seni dengan metode kritis
berarti menetapkan rangking sebuah karya dalam hubungannya dengan karya lain
yang sejenis, untuk menentukan kadar artistik dan faedah estetiknya. Dalam
aktifitas ini dikenal model evaluasi dengan studi komparatif historis.
Pada bagian ini kritikus perlu mengenali
dengan seksama sebanyak mungkin gaya artistik, aliran seni, pengaruh komunikasi
dalam pertukaran artistik modern, perluasan lahan kreatifitas, serta keunikan
karya seni (orisinilitas) dalam sejarah kesenian. Sehingga ia mampu melakukan
kaji banding kesejahteraan dengan tepat, untuk mencari serangkaian makna dan
kekuatan ekspresi karya seni yang menjadi objek kritik.
Penilaian orisinilitas adalah instrumen
penilaian kritis yang menjelaskan ide karya, yakni dengan mengidentifikasikan
masalah artistik yang akan dipecahkan, apa fungsi seni, ada tidaknya inovasi
ekspresi artistik, dan akseleransi teknik artistiknya.
Penilaian teknik seni adalah mengukur
kelogisan penggunaan materi dan instrumen seni dengan korelasinya dengan bentuk
dan fungsi seni. Dalam konteks karya yang anti teknik, anti estetis, anti seni,
dan karya-karya vulgar lainnya penilaian ditekankan pada aspek intelektualnya,
yakni bobot ide yang menyertai karya seni tersebut. Sebab tanpa isi pikiran,
sebuah karya tergolong tidak bermanfaat, karena tidak relevan dengan kehidupan
dan kemanusiaan kita.
4. Jenis Penilaian
Kritik Sastra
a.
Pendekatan Formalistik
Kritik
seni formalis mengasumsikan bahwa kehidupan seni memiliki dunianya sendiri.
Artinya terlepas sama sekali dari realitas kehidupan keseharian yang kita
alami. Clive Bell, tokoh kritikus formalis mempertentangkan metode kritisme
formalis dengan teori seni imitasi yang menekankan pentingnya hubungan seni
dengan pengalaman manusia di luar seni. Menurut pendapatnya art is to be art, must be independent and self suficient.
Kriteria
kritik formalis untuk menentukan ekselensi karya seni adalah significant form,yakni kapasitas bentuk seni yang
melahirkan emosi estetik bagi pengamat seni.
b.
Pendekatan Ekspresivisme
Kritik
seni ekpresivisme menentukan kadar keberhasilan seni atas kemampuannya
membangkitkan emosi secara efektif, intensif, dan penuh gairah. Intensitas
pengalaman mengandung makna, bahwa karya seni yang baik dapat menggetarkan
perasaan yang lebih kuat daripada perasaan keseharian pada saat kita melihat
relitas yang sama. Konsep ini berusaha sekuat tenaga untuk menghidupkan kembali
vitalitas dan spontanitas dalam karya seni.
Penganut
kritik ekspresivisme dalam melakukan analisis seni, apresiasi dan penilaiannya
memakai kriteria yang sama, yakni pengalaman induvidual seniman, seperti
ekspresi diri, komunikasi emosi, dan pembahasan pengalaman estetik. Kehadiran
ekspresivisme dalam dunia kesenian lebih dipertegas pada abad ke-19, antara
lain dipelopori oleh Wosdsorth dan Shelly dalam puisi, Victor Hugo dalam seni teater, dan Gericault dan Delacroix dalam
seni lukis.
Teori
seni ekpresif memang menganggap karya seni sebagai ekpresi perasaan
manusia, yang didefinisikan oleh Benedetto Croce sebagai seni adalah ekpresi dari
impresi. Cita dan citra ekpresivisme bertolak belakang dengan cita dan citra
kritisme formalistik. Cita-cita formalistik memang lebih mengutamakan keindahan
bentuk seni, sehingga aspek emosi manusia kutang diperhatikan. Sebaliknya
ekpresivisme lebih meletakkan tekanan pada ekpresi pribadi.
c.
Pendekatan Instrumentalistik
Para
kritikus instrumentalis berpendapat bahwa kreasi artistik tidak terletak pada
kemampuan seniman untuk mengelolah material seni ataupun pada masalah internal
karya seni.
Dapat dikatakan bahwa teori seni
instrumentalistik menganggap seni sebagai sarana untuk memajukan dan
mengembangkan tujuan moral, agama, politik, dan berbagai tujuan psikologis
dalam kesenian. Seni dipandang sebagai instrumen untuk mencapai tujuan
tertentu, nilai seni terletak pada manfaat dan kegunaannya bagi masyarakat.
Salah satu hal yang menyulitkan
penafsiran seni instrumentalis dalam sejarah kesenian adalah kenyataan bahwa
seni dapat dikagumi dengan alasan yang berbeda. Motivasi lain seni
instrumentalis adalah adanya dukungan terus-menerus dari donatur, baik dari
lembaga, yayasan, maupun donatur perorangan. Tidak ada bukti bahwa para sponsor
dan donatur ikut mempengaruhi kualitas seni yang diciptakan seniman. Pada
dasarnya teori instrumentalis mendapatkan motivasi dengan jalan melayani
kebutuhan sponsornya.