Kesultanan Banten
Kesultanan
Banten merupakan sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di Provinsi Banten,
Indonesia. Berawal sekitar tahun 1526, ketika Kerajaan Demak memperluas
pengaruhnya ke kawasan pesisir barat Pulau Jawa, dengan menaklukan beberapa
kawasan pelabuhan kemudian menjadikannya sebagai pangkalan militer serta
kawasan perdagangan.
Maulana
Hasanuddin, putera Sunan Gunung Jati berperan dalam penaklukan tersebut.
Setelah penaklukan tersebut, Maulana Hasanuddin mendirikan benteng pertahanan
yang dinamakan Surosowan, yang kemudian hari menjadi pusat pemerintahan setelah
Banten menjadi kesultanan yang berdiri sendiri.
Selama
hampir 3 abad Kesultanan Banten mampu bertahan bahkan mencapai kejayaan yang
luar biasa, yang diwaktu bersamaan penjajah dari Eropa telah berdatangan dan
menanamkan pengaruhnya. Perang saudara, dan persaingan dengan kekuatan global
memperebutkan sumber daya maupun perdagangan, serta ketergantungan akan
persenjataan telah melemahkan hegemoni Kesultanan Banten atas wilayahnya. Kekuatan
politik Kesultanan Banten akhir runtuh pada tahun 1813 setelah sebelumnya
Istana Surosowan sebagai simbol kekuasaan di Kota Intan dihancurkan, dan pada
masa-masa akhir pemerintanannya, para Sultan Banten tidak lebih dari raja
bawahan dari pemerintahan kolonial di Hindia Belanda.
Pembentukan awal
Pada awalnya
kawasan Banten juga dikenal dengan Banten Girang merupakan bagian dari Kerajaan
Sunda. Kedatangan pasukan Kerajaan Demak di bawah pimpinan Maulana Hasanuddin
ke kawasan tersebut selain untuk perluasan wilayah juga sekaligus penyebaran
dakwah Islam. Kemudian dipicu oleh adanya kerjasama Sunda-Portugal dalam bidang
ekonomi dan politik, hal ini dianggap dapat membahayakan kedudukan Kerajaan
Demak selepas kekalahan mereka mengusir Portugal dari Melaka tahun 1513. Atas
perintah Trenggana, bersama dengan Fatahillah melakukan penyerangan dan
penaklukkan Pelabuhan Kelapa sekitar tahun 1527, yang waktu itu masih merupakan
pelabuhan utama dari Kerajaan Sunda.
Selain mulai
membangun benteng pertahanan di Banten, Maulana Hasanuddin juga melanjutkan
perluasan kekuasaan ke daerah penghasil lada di Lampung. Ia berperan dalam
penyebaran Islam di kawasan tersebut, selain itu ia juga telah melakukan kontak
dagang dengan raja Malangkabu (Minangkabau, Kerajaan Inderapura), Sultan
Munawar Syah dan dianugerahi keris oleh raja tersebut.
Seiring
dengan kemunduran Demak terutama setelah meninggalnya Trenggana, Banten yang
sebelumnya vazal dari Kerajaan Demak, mulai melepaskan diri dan menjadi
kerajaan yang mandiri. Maulana Yusuf anak dari Maulana Hasanuddin, naik tahta
pada tahun 1570 melanjutkan ekspansi Banten ke kawasan pedalaman Sunda dengan
menaklukkan Pakuan Pajajaran tahun 1579. Kemudian ia digantikan anaknya Maulana
Muhammad, yang mencoba menguasai Palembang tahun 1596 sebagai bagian dari usaha
Banten dalam mempersempit gerakan Portugal di nusantara, namun gagal karena ia
meninggal dalam penaklukkan tersebut.
Pada masa
Pangeran Ratu anak dari Maulana Muhammad, ia menjadi raja pertama di Pulau Jawa
yang mengambil gelar "Sultan" pada tahun 1638 dengan nama Arab Abu
al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir. Pada masa ini Sultan Banten telah mulai secara
intensif melakukan hubungan diplomasi dengan kekuatan lain yang ada pada waktu
itu, salah satu diketahui surat Sultan Banten kepada Raja Inggris, James I
tahun 1605 dan tahun 1629 kepada Charles I.
Puncak kejayaan
Kesultanan
Banten merupakan kerajaan maritim dan mengandalkan perdagangan dalam menopang
perekonomiannya. Monopoli atas perdagangan lada di Lampung, menempatkan
penguasa Banten sekaligus sebagai pedagang perantara dan Kesultanan Banten
berkembang pesat, menjadi salah satu pusat niaga yang penting pada masa itu.
Perdagangan laut berkembang ke seluruh Nusantara, Banten menjadi kawasan
multi-etnis. Dibantu orang Inggris, Denmark dan Tionghoa, Banten berdagang
dengan Persia, India, Siam, Vietnam, Filipina, Cina dan Jepang.
Masa Sultan
Ageng Tirtayasa (bertahta 1651-1682) dipandang sebagai masa kejayaan Banten. Di
bawah dia, Banten memiliki armada yang mengesankan, dibangun atas contoh Eropa,
serta juga telah mengupah orang Eropa bekerja pada Kesultanan Banten. Dalam
mengamankan jalur pelayarannya Banten juga mengirimkan armada lautnya ke
Sukadana atau Kerajaan Tanjungpura (Kalimantan Barat sekarang) dan
menaklukkannya tahun 1661. Pada masa ini Banten juga berusaha keluar dari
tekanan yang dilakukan VOC, yang sebelumnya telah melakukan blokade atas kapal-kapal
dagang menuju Banten.
Perang saudara
Sekitar
tahun 1680 muncul perselisihan dalam Kesultanan Banten, akibat perebutan kekuasaan
dan pertentangan antara Sultan Ageng dengan putranya Sultan Haji. Perpecahan
ini dimanfaatkan oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang memberikan
dukungan kepada Sultan Haji, sehingga perang saudara tidak dapat dielakkan.
Sementara dalam memperkuat posisinya, Sultan Haji atau Sultan Abu Nashar Abdul
Qahar juga sempat mengirimkan 2 orang utusannya, menemui Raja Inggris di London
tahun 1682 untuk mendapatkan dukungan serta bantuan persenjataan. Dalam perang
ini Sultan Ageng terpaksa mundur dari istananya dan pindah ke kawasan yang
disebut dengan Tirtayasa, namun pada 28 Desember 1682 kawasan ini juga dikuasai
oleh Sultan Haji bersama VOC. Sultan Ageng bersama putranya yang lain Pangeran
Purbaya dan Syekh Yusuf dari Makasar mundur ke arah selatan pedalaman Sunda.
Namun pada 14 Maret 1683 Sultan Ageng tertangkap kemudian ditahan di Batavia.
Sementara
VOC terus mengejar dan mematahkan perlawanan pengikut Sultan Ageng yang masih
berada dalam pimpinan Pangeran Purbaya dan Syekh Yusuf. Pada 5 Mei 1683, VOC
mengirim Untung Surapati yang berpangkat letnan beserta pasukan Balinya,
bergabung dengan pasukan pimpinan Letnan Johannes Maurits van Happel
menundukkan kawasan Pamotan dan Dayeuh Luhur, di mana pada 14 Desember 1683
mereka berhasil menawan Syekh Yusuf. Sementara setelah terdesak akhirnya
Pangeran Purbaya menyatakan menyerahkan diri. Kemudian Untung Surapati disuruh
oleh Kapten Johan Ruisj untuk menjemput Pangeran Purbaya, dan dalam perjalanan
membawa Pangeran Purbaya ke Batavia, mereka berjumpa dengan pasukan VOC yang
dipimpin oleh Willem Kuffeler, namun terjadi pertikaian di antara mereka,
puncaknya pada 28 Januari 1684, pos pasukan Willem Kuffeler dihancurkan, dan
berikutnya Untung Surapati beserta pengikutnya menjadi buronan VOC. Sedangkan
Pangeran Purbaya sendiri baru pada 7 Februari 1684 sampai di Batavia.
Penurunan
Bantuan dan
dukungan VOC kepada Sultan Haji mesti dibayar dengan memberikan kompensasi
kepada VOC di antaranya pada 12 Maret 1682, wilayah Lampung diserahkan kepada
VOC, seperti tertera dalam surat Sultan Haji kepada Mayor Issac de Saint
Martin, Admiral kapal VOC di Batavia yang sedang berlabuh di Banten. Surat itu
kemudian dikuatkan dengan surat perjanjian tanggal 22 Agustus 1682 yang membuat
VOC memperoleh hak monopoli perdagangan lada di Lampung. Selain itu berdasarkan
perjanjian tanggal 17 April 1684, Sultan Haji juga mesti mengganti kerugian
akibat perang tersebut kepada VOC.
Setelah
meninggalnya Sultan Haji tahun 1687, VOC mulai mencengkramkan pengaruhnya di
Kesultanan Banten, sehingga pengangkatan para Sultan Banten mesti mendapat
persetujuan dari Gubernur Jendral Hindia-Belanda di Batavia. Sultan Abu Fadhl
Muhammad Yahya diangkat mengantikan Sultan Haji namun hanya berkuasa sekitar
tiga tahun, selanjutnya digantikan oleh saudaranya Pangeran Adipati dengan
gelar Sultan Abul Mahasin Muhammad Zainul Abidin dan kemudian dikenal juga
dengan gelar Kang Sinuhun ing Nagari Banten.
Perang
saudara yang berlangsung di Banten meninggalkan ketidakstabilan pemerintahan
masa berikutnya. Konfik antara keturunan penguasa Banten maupun gejolak
ketidakpuasan masyarakat Banten, atas ikut campurnya VOC dalam urusan Banten.
Perlawanan rakyat kembali memuncak pada masa akhir pemerintahan Sultan Abul
Fathi Muhammad Syifa Zainul Arifin, di antaranya perlawanan Ratu Bagus Buang
dan Kyai Tapa. Akibat konflik yang berkepanjangan Sultan Banten kembali meminta
bantuan VOC dalam meredam beberapa perlawanan rakyatnya sehingga sejak 1752
Banten telah menjadi vassal dari VOC.
Penghapusan kesultanan
Pada tahun
1808 Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1808-1810,
memerintahkan pembangunan Jalan Raya Pos untuk mempertahankan pulau Jawa dari
serangan Inggris. Daendels memerintahkan Sultan Banten untuk memindahkan ibu
kotanya ke Anyer dan menyediakan tenaga kerja untuk membangun pelabuhan yang
direncanakan akan dibangun di Ujung Kulon. Sultan menolak perintah Daendels,
sebagai jawabannya Daendels memerintahkan penyerangan atas Banten dan
penghancuran Istana Surosowan. Sultan beserta keluarganya disekap di Puri Intan
(Istana Surosowan) dan kemudian dipenjarakan di Benteng Speelwijk. Sultan Abul
Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin kemudian diasingkan dan dibuang ke Batavia.
Pada 22 November 1808, Daendels mengumumkan dari markasnya di Serang bahwa wilayah
Kesultanan Banten telah diserap ke dalam wilayah Hindia Belanda.
Kesultanan
Banten resmi dihapuskan tahun 1813 oleh pemerintah kolonial Inggris. Pada tahun
itu, Sultan Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin dilucuti dan dipaksa
turun tahta oleh Thomas Stamford Raffles. Peristiwa ini merupakan pukulan
pamungkas yang mengakhiri riwayat Kesultanan Banten.
Agama
Berdasarkan
data arkeologis, masa awal masyarakat Banten dipengaruhi oleh beberapa kerajaan
yang membawa keyakinan Hindu-Budha, seperti Tarumanagara, Sriwijaya dan
Kerajaan Sunda.
Dalam Babad
Banten menceritakan bagaimana Sunan Gunung Jati bersama Maulana Hasanuddin,
melakukan penyebaran agama Islam secara intensif kepada penguasa Banten Girang
beserta penduduknya. Beberapa cerita mistis juga mengiringi proses islamisasi
di Banten, termasuk ketika pada masa Maulana Yusuf mulai menyebarkan dakwah
kepada penduduk pedalaman Sunda, yang ditandai dengan penaklukan Pakuan
Pajajaran.
Islam
menjadi pilar pendirian Kesultanan Banten, Sultan Banten dirujuk memiliki
silsilah sampai kepada Nabi Muhammad, dan menempatkan para ulama memiliki
pengaruh yang besar dalam kehidupan masyarakatnya, seiring itu tarekat maupun
tasawuf juga berkembang di Banten. Sementara budaya masyarakat menyerap Islam
sebagai bagian yang tidak terpisahkan. Beberapa tradisi yang ada dipengaruhi
oleh perkembangan Islam di masyarakat, seperti terlihat pada kesenian bela diri
Debus.
Kadi
memainkan peranan penting dalam pemerintahan Kesultanan Banten, selain
bertanggungjawab dalam penyelesaian sengketa rakyat di pengadilan agama, juga
dalam penegakan hukum Islam seperti hudud.
Toleransi
umat beragama di Banten, berkembang dengan baik. Walau didominasi oleh muslim,
namun komunitas tertentu diperkenankan membangun sarana peribadatan mereka, di
mana sekitar tahun 1673 telah berdiri beberapa klenteng pada kawasan sekitar
pelabuhan Banten.
Kependudukan
Kemajuan
Kesultanan Banten ditopang oleh jumlah penduduk yang banyak serta multi-etnis.
Mulai dari Jawa, Sunda dan Melayu. Sementara kelompok etnis nusantara lain
dengan jumlah signifikan antara lain Makasar, Bugis dan Bali.
Dari
beberapa sumber Eropa disebutkan sekitar tahun 1672, di Banten diperkirakan
terdapat antara 100 000 sampai 200 000 orang lelaki yang siap untuk berperang,
sumber lain menyebutkan, bahwa di Banten dapat direkrut sebanyak 10 000 orang
yang siap memanggul senjata. Namun dari sumber yang paling dapat diandalkan,
pada Dagh Register-(16.1.1673) menyebutkan dari sensus yang dilakukan VOC pada
tahun 1673, diperkirakan penduduk di kota Banten yang mampu menggunakan tombak
atau senapan berjumlah sekita 55 000 orang. Jika keseluruhan penduduk dihitung,
apa pun kewarganegaraan mereka, diperkirakan berjumlah sekitar 150 000
penduduk, termasuk perempuan, anak-anak, dan lansia.
Sekitar
tahun 1676 ribuan masyarakat Cina mencari suaka dan bekerja di Banten.
Gelombang migrasi ini akibat berkecamuknya perang di Fujian serta pada kawasan
Cina Selatan lainnya. Masyarakat ini umumnya membangun pemukiman sekitar
pinggiran pantai dan sungai serta memiliki proporsi jumlah yang signifikan
dibandingkan masyarakat India dan Arab. Sementara di Banten beberapa kelompok
masyarakat Eropa seperti Inggris, Belanda, Perancis, Denmark dan Portugal juga
telah membangun pemondokan dan gudang di sekitar Ci Banten.
Perekonomian
Dalam
meletakan dasar pembangunan ekonomi Banten, selain di bidang perdagangan untuk
daerah pesisir, pada kawasan pedalaman pembukaan sawah mulai diperkenalkan.
Asumsi ini berkembang karena pada waktu itu di beberapa kawasan pedalaman seperti
Lebak, perekonomian masyarakatnya ditopang oleh kegiatan perladangan,
sebagaimana penafsiran dari naskah sanghyang siksakanda ng karesian yang
menceritakan adanya istilah pahuma (peladang), panggerek (pemburu) dan panyadap
(penyadap). Ketiga istilah ini jelas lebih kepada sistem ladang, begitu juga
dengan nama peralatanya seperti kujang, patik, baliung, kored dan sadap.
Pada masa
Sultan Ageng antara 1663 dan 1667 pekerjaan pengairan besar dilakukan untuk
mengembangkan pertanian. Antara 30 dan 40 km kanal baru dibangun dengan
menggunakan tenaga sebanyak 16 000 orang. Di sepanjang kanal tersebut, antara
30 dan 40 000 ribu hektar sawah baru dan ribuan hektar perkebunan kelapa
ditanam. 30 000-an petani ditempatkan di atas tanah tersebut, termasuk orang
Bugis dan Makasar. Perkebunan tebu, yang didatangkan saudagar Cina pada tahun
1620-an, dikembangkan. Di bawah Sultan Ageng, perkembangan penduduk Banten
meningkat signifikan.
Tak dapat
dipungkiri sampai pada tahun 1678, Banten telah menjadi kota metropolitan, dengan
jumlah penduduk dan kekayaan yang dimilikinya menjadikan Banten sebagai salah
satu kota terbesar di dunia pada masa tersebut.
Pemerintahan
Setelah
Banten muncul sebagai kerajaan yang mandiri, penguasanya menggunakan gelar
Sultan, sementara dalam lingkaran istana terdapat gelar Pangeran Ratu, Pangeran
Adipati, Pangeran Gusti, dan Pangeran Anom yang disandang oleh para pewaris.
Pada pemerintahan Banten terdapat seseorang dengan gelar Mangkubumi, Kadi,
Patih serta Syahbandar yang memiliki peran dalam administrasi pemerintahan.
Sementara pada masyarakat Banten terdapat kelompok bangsawan yang digelari
dengan tubagus (Ratu Bagus), ratu atau sayyid, dan golongan khusus lainya yang
mendapat kedudukan istimewa adalah terdiri atas kaum ulama, pamong praja, serta
kaum jawara.
Pusat
pemerintahan Banten berada antara dua buah sungai yaitu Ci Banten dan Ci
Karangantu. Di kawasan tersebut dahulunya juga didirikan pasar, alun-alun dan
Istana Surosowan yang dikelilingi oleh tembok beserta parit, sementara
disebelah utara dari istana dibangun Masjid Agung Banten dengan menara
berbentuk mercusuar yang kemungkinan dahulunya juga berfungsi sebagai menara
pengawas untuk melihat kedatangan kapal di Banten.
Berdasarkan
Sejarah Banten, lokasi pasar utama di Banten berada antara Masjid Agung Banten
dan Ci Banten, dan dikenal dengan nama Kapalembangan. Sementara pada kawasan
alun-alun terdapat paseban yang digunakan oleh Sultan Banten sebagai tempat
untuk menyampaikan maklumat kepada rakyatnya. Secara keseluruhan rancangan kota
Banten berbentuk segi empat yang dpengaruhi oleh konsep Hindu-Budha atau
representasi yang dikenal dengan nama mandala. Selain itu pada kawasan kota
terdapat beberapa kampung yang mewakili etnis tertentu, seperti Kampung Pekojan
(Persia) dan Kampung Pecinan.
Kesultanan
Banten telah menerapkan cukai atas kapal-kapal yang singah ke Banten,
pemungutan cukai ini dilakukan oleh Syahbandar yang berada di kawasan yang
dinamakan Pabean. Salah seorang syahbandar yang terkenal pada masa Sultan Ageng
bernama Syahbandar Kaytsu.
Daftar penguasa Banten
Maulana
Hasanuddin atau Pangeran Sabakingkin 1552 - 1570
Maulana
Yusuf atau Pangeran Pasareyan 1570 - 1585
Maulana
Muhammad atau Pangeran Sedangrana 1585 - 1596
Sultan Abu
al-Mafakhir Mahmud Abdulkadir atau Pangeran Ratu 1596 - 1647
Sultan Abu
al-Ma'ali Ahmad 1647 - 1651
Sultan Ageng
Tirtayasa atau Sultan Abu al-Fath Abdul Fattah 1651-1682
Sultan Haji
atau Sultan Abu Nashar Abdul Qahar 1683 - 1687
Sultan Abu
Fadhl Muhammad Yahya 1687 - 1690
Sultan Abul
Mahasin Muhammad Zainul Abidin 1690 - 1733
Sultan Abul
Fathi Muhammad Syifa Zainul Arifin 1733 - 1747
Ratu
Syarifah Fatimah 1747 - 1750
Sultan Arif
Zainul Asyiqin al-Qadiri 1753 - 1773
Sultan Abul
Mafakhir Muhammad Aliuddin 1773 - 1799
Sultan Abul
Fath Muhammad Muhyiddin Zainussalihin 1799 - 1803
Sultan Abul
Nashar Muhammad Ishaq Zainulmutaqin 1803 - 1808
Sultan
Muhammad bin Muhammad Muhyiddin Zainussalihin 1809 – 1813
Runtuhnya Kerajaan Banten
Hasanuddin berhasil
dikalahkan oleh Belanda sehingga harus menandatangani sebuah perjanjian. Isinya
antara lain adalah kerajaan banten harus dibagi menjadi 4 kerajaan kecil, yaitu
kerajaan cirebon, dan lain-lain. Karena menjadi kerajaan kecil maka di banten
sering terjadi perang saudara sehingga kerajaan banten akhirnya runtuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar